Stiker Kura-Kura: Kisah Mendalam dari Nuryadi Kartono

Stiker Kura-Kura: Kisah Mendalam dari Nuryadi Kartono

Stiker Kura-Kura


Cerpen Nuryadikartono

Galang, anak laki-laki dengan pipi gemuk mirip bakpao, merupakan sihir muda yang memiliki kemampuan untuk menjadikan kue-kuenya menjadi serpihan dalam seketika. Tiap harinya, dapur di rumahnya yang senantiasa dipenuhi wangi kayu manis, gula aren, serta rempah-rempah lainnya, jadi tempat pertarungannya sendiri. Tersembunyi dibalik tirai kain batik milik sang bundanya, toples kaca penuh permen berwarna ceria bersinar layaknya harta karun para pencuri lautan. Namun baginya, lawan utamanya bukannya pencuri laut ini—tetapi malahan rongga perut tanpa akhir tersebut.

“Galang! Ini permen kedua puluh lima hari ini!” serunya Bu Wulan pada sebuah sore, di mana tangannya kanan tetap menggenggam sendok nasi dan kirinya berusaha untuk menjaga agar toples tak tertumpahkan meski tinggal sekarang sedikit isi. Namun, Galang telah cepat melintas menuju halaman belakang, mulutnya dipenuhi oleh cairan permen. Disitu, buruan ternakanya tengah asyik merogoh biji jagung. “Perhatikan, mereka makannya secara rutin, tidak semena-mena layaknya dirimu,” teriak Bu Wulan sambil jarinya telunjuk menunjuk kepada barisan ayam tersebut.

Di atas meja makan malam tersebut, Bapak Dharma membelah potongan daging rendang dengan pergerakan yang perlahan, seolah-olah mencontohkan bagaimana mengunyah. “Dengan tenang, anakku. Memasukkan makanan ke dalam mulut ibarat merakit sebuah puzzle. Jika kamu buru-buru, gambarannya tidak akan sempurna,” katanya seraya matanya berbinar tulus. Namun, Galang hanya bisa tersenyum, gigi kecilnya mencubit krupuk sehingga berserpihan layaknya kembang api mini.

Saudara perempuan pertamanya yang bernama Citra kerap kali berperan sebagai penjaga tanpa undangan. Pada satu kesempatan, ketika Galang mencoba menyelipkan diri ke dalam dapur di tengah malam untuk mendapatkan sisa-sisa martabak, dia secara tidak terduga keluar dari belakang pintu menggunakan senter yang menyorot ke arah dagunya dan membuat wajahnya tampak menyeramkan layaknya hantu. “Dasar serigala kecil! Gigi Anda akan tanggal sebelum memasuki sekolah dasar!” tuduhnya keras. Namun, Galang jauh lebih ketakutan oleh bayangan dirinya sendiri di tembok dibandingkan dengan ancaman sang kakak.

Suatu pagi, ketika Matahari masih belum sepenuhnya menampakkan dirinya, Galang terjaga disertai keringat yang mengalir dingin. Perutnya berbunyi keras layaknya drum pertempuran, namun tidak ada hubungannya dengan kelaparan. “Bu…perutku rasanya ditekan oleh seekor gajah…dan si gajah itu memakai sepatu rodanya,” geramnya sambil membengkokkan tubuh bagaikan siput.

Bu Wulan menghela nafas sambil meremas telunjuknya di punggung Galang. “Siapa yang habis makan satu kaleng kue nastar dan es krim coklat kemarin malam?” desah Bu Wulan pelan namun jelas. Pikiran mereka tentang pergi piknik ke Taman Safari telah sirna begitu saja. Sementara itu, Citra—yang sudah berjam-jam mendekorasi kameranya agar bisa merekam gerak-geriku panda favoritnya selama beberapa hari terakhir ini—dengan cepat menghapus air mata tanpa disadari saat dia tersenyum sedih melihat semua persiapan tersebut.

Di klinik tersebut, Dr. Haryo, yang menggunakan kacamata berlensa tebal serta stetoskopnya seperti lapisan es cream vanilla, perlahan menggelengkan kepalanya. “Kadar gula dalam darah Anda cukup tinggi, Nak. Jika tidak ditangani, mungkin nantinya akan sulit untuk bersepeda atau bahkan memainkan sepakbola,” ujarnya seraya menunjukkan diagram pada dinding tempat digambarkan beberapa anak dengan wajah riang. Komentar dokter tadi ternyata berkumandang begitu keras di pikiran Galang hingga melebihi bunyi krunch saat dia mengunyah kerupuk.

Pagi berikutnya, Galang duduk di kursi kayu di tepian kolam, tangannya yang kecil memegangi mangkuk berisi irisan apel. “Ini untuk Anda, Duckzilla,” gumamnya kepada seekor bebek jantan terbesar sana seraya melemparkannya satu potong buah. Bebek tersebut menggigit lembut, disertai suara quak-quak panjang.

Citra, yang sedari tadi mengamat-amati dari belakang jendela, mendadak keluar sambil membawa papan tulis mini. “Mari kita buat sebuah tantangan!” katanya gembira. Pada papan tersebut, tertulis beberapa kotak seperti “Memakan Sayuran”, “Mengunyai 20 Kali”, serta “Berbagi Snack”. Setiap tantangan yang berhasil diselesaikan oleh Galang akan diberinya stiker berupa binatang langka. “Jika sudah mencapai 50 stiker, kita bisa mengadopsi seekor kura-kura di Taman Safari!”

Bapak Dharma dan Ibu Wulan juga turut serta dalam merancang strategi ini. Tiap minggu di hari Sabtu atau Minggu, mereka menggelar “Perayaan Rasanya Sehat”—beras yang dibentuk seperti hewan menggunakan pasta alami dari bit hijau, tusukan daging buah bersama saus yogurt, termasuk es lolly yang terbuat dari jus nanas tanpa tambahan gula. Secara perlahan, Galang mulai memahami bahwa lobak yang dipotong membentuk bintang justru lebih menarik bagi dirinya ketimbang krupuk ubi biasa.

Ujian tiba ketika hari jadi putri keluarga sebelah rumah. Pada meja makan prasmanan itu, sebuah puding lapis legitimasi bertingkat seperti Menara Eiffel menyebar wangi butter yang menusuk hidung. Jemari Galang bergetar mencoba meraih potongan tersebut, namun ia ingat ada sepuluh sticker sikaku dalam saku celana yang belum terkumpulkan. “S-saya hanya akan mengambil sedikit,” gumamnya kepada Citra dengan nada pelan.

Namun saudara perempuannya hanya menjulurkan tangannya; terdapat potongan semangka berbentuk jantung di telapak tangan tersebut. “Landak di Taman Safari tengah menanti Anda,” ucapnya sambil memandangi Anda dengan tatapan bersinar-sinarkan. Galang mendesah panjang kemudian menggigit buah semangkanya. Rasa dari buah tersebut manis namun unik—manis yang tak menyebabkan kepala menjadi pening.

Setelah dua bulan, mereka akhirnya tiba di hadapan sang Panda yang ada di Taman Safari. Sementara Galang, menggunakan topi koboy serta membawa sabuk pinggang penuh dengan kacang almond panggang, asik melompat-lompat di atas rumput sambil terus tertawa. Dalam sakunya tersimpan sejumlah 50 stiker binatang yang sudah beralih fungsi sebagai sertifikat adopsi seekor kura-kura bernama Kiko.

“Lihat, Bu! Kiko sedang memakankan selada dengan pelan-pelan, sama seperti yang dikatakan Kak Citra!” teriak Galang kepada Bu Wulan sambil mengusap hidungnya ke kaca akuarium.

Di waktu berbeda, di salah satu sudut taman, Citra mengabadikan momen Galang yang sedang menyusun wortel untuk rusa. Di balik jepretan kamernya tersebut terpancar sebuah narasi bahwa sesuatu melebihi interaksi antara anak-anak dan binatang; ini adalah pelajaran tentang betapa hakiki nikmat ialah tak melulu ditentukan oleh jumlah apa yang kita konsumsi, tetapi juga pada tingkat penghargaan yang kita tanamkannya.

Pada malam tersebut, ketika bulan bersinar di angkasa, Galang menusuk kata-kata ke dalam jurnalnya dengan ejaan yang belum rapi: “Hari ini saya berlari lebih kencang daripada adik perempuanku yaitu Citra. Namun apa yang membuatku senang adalah rasanya bahwa lambungku enteng seolah-olah dapat melayang-layang. Barangkali esok aku bakal mencicipi sayuran brokoli…”

Di dalam dapur, Bu Wulan bertepuk tangan senang saat melihat toples permen yang tetap terisi penuh. Aroma roti pisang bakar berbumbu kayu manis pun mulai menguar ke seluruh area. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *