Presiden Prabowo Subianto sepertinya memiliki ketidaknyamanan yang kuat terhadap orang-orang cerdas. Ini bisa dilihat pada beberapa kesempatan di mana dia menyampaikan pidato atau ucapan selama beragam peristiwa formal.
Baru-baru ini, Presiden menyebutkan bahwa ada banyak individu cerdas yang belum mencapai prestasi signifikan. Peristiwa tersebut terjadi ketika Prabowo sedang bercakap-cakap bersama warga pertanian di Majalengka, Jawa Barat pada hari Senin tanggal 7 April 2025. Pada kesempatan itu juga, ia menambahkan bahwasanya para menteri beliau telah giat dalam melaksanakan tugas serta merumuskan peraturan yang rasional, walau mereka tak selalu alumni perguruan tinggi bergengsi.
Meskipun tidak menyebutkan identitas “orang cerdas” tersebut secara spesifik, sangat mungkin target utamanya adalah golongan berpendidikan tinggi. Ini mencakup kalangan akademis, ahli profesional, sampai dosen. Sepertinya Prabowo memandang bahwa individu seperti itu tak dapat bekerja praktis dan cuma memiliki pemahaman teoretis saja.
Apabila ditelusuri lebih jauh, masalah dengan Orang Pinter telah terjadi cukup lama. Prabowo telah menyebutkan hal ini beberapa kali di beragam kesempatan. Tahun lalu saja, ia sempat mengomentari para intelektual yang mendukung “omon-omon” pada sebuah program siaran (
podcast
) daripada bekerja.
Bukan hanya itu saja, Prabowo turut membela program utama Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia merasa bahwa individu dengan pendidikan tinggi kurang memahami masalah masyarakat berpendapatan rendah. Selain cerita tersebut, ketika masih dalam posisi sebagai calon presiden (cawapres), Prabowo sempat mengejek para intelektual yang mengkritik tentang mandiri pangan yang ia usulkan.
“Pakar” ini sering kali berselisihan dan mengajukan kritik kepada pemerintah Prabowo. Sayangnya, kritik itu diabaikan seperti “udara yang lalu” oleh sang Presiden. Sebaliknya dari mendengarkan secara konstruktif saran-saran mereka, Prabowo cenderung memilih untuk mengecilkan martabat para penegur.
Tampaknya cara Pendekatan Prabowo terhadap kalangan intelektual telah membentuk dinamika dalam penyusunan kebijakan selama masa pemerintahannya. Sejak pelantikan pada 20 Oktober 2024, beberapa keputusan yang dikeluarkan sering kali menunjukkan ketidakkonsistenan. Banyak dari kebijakan ini pun kemudian menciptakan kontroversi dan akhirnya harus dicabut atau ditunda.
Sebagai contoh, terjadi perdebatan mengenai kebijakan Kementerian ESDM yang melarang penjualan LPG 3 kg kepada pedagang ritel. Hal ini menyebabkan ketersediaan gas menjadi langka dan mendapat kritikan dari publik. Beberapa hari kemudian, pihak berwenang mencabut aturan tersebut.
Demikian juga dengan keputusan mencabut pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12%, yang diumumkan oleh Menko bidang Perekonomian Airlangga Hartarto serta Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Ketidakkonsistenan itu muncul sebab tak adanya fondasi yang kokoh serta analisis menyeluruh tentang sebuah masalah. Kebijakan yang efektif biasanya menekankan pentingnya studi ilmiah sebagai pondasi utama dalam penyusunan aturan. Studi semacam ini harus dibuat oleh para profesional berpengalaman di bidang mereka. Perilaku membuat kemudian mencabut kebijakan seperti ini merupakan indikator dari kurang aktifnya kontribusi pakar-pakar tersebut.
Gagalnya Negara dalam Mengakomodasi “Orang Berpendidikan”
Prinsip “
pria yang tepat di tempat yang tepat
meritocracy merupakan dasar untuk negara, organisasi, dan perusahaan yang menginginkan pertumbuhan jangka panjang. Pemilihan berdasarkan kualifikasi harus menjadi fokus utama di setiap bidang, walaupun cukup sulit dicapai di Indonesia.
Sebenarnya, bukannya membuka lapangan bagi beragam bakat, negeri ini justru lebih condong ke arah praktik nepotisme serta klienelisme. Tentunya hal itu bertentangan dengan asas meritokrasi yang seharusnya mempersembahkan peluang untuk individu-individu yang berkualitas dan bermoral baik dalam disiplin ilmunya masing-masing.
Beberapa jabatan vital di lingkungan pemerintah sering kali digunakan untuk “pembagian kekuasaan” dan cenderung bersifat politis. Jabatan-jabatan tersebut biasanya diserahkan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para pendukung setelah Pemilu. Orang-orang ini mendapatkan berbagai posisi, seperti menteri, kepala lembaga, asisten khusus menteri, sampai komisari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tak jarang juga ada orang yang ditugaskan pada posisi tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuan atau pengetahuannya.
Pentingnya Orang yang Tepat
Meletakkan individu di tempat yang sesuai dalam administrasi publik bisa mengecilkan kesempatan untuk terjadinya suap dan favoritisme kelompok kerabat. Bila jabatan diserahkan kepada mereka atas dasar prestasi daripada ikatan silsilah atau kekuasaan politik, hal ini akan mendorong keterbukaan serta pertanggungjawaban.
Bukan hanya itu saja, dalam sebuah pemerintahan, keputusan strategis akan jauh lebih baik kualitasnya apabila dibuat oleh individu-individu yang ahli di bidang masing-masing. Sebab mereka memiliki pemahaman mendalam tentang “lingkup pekerjaannya” dan bisa menciptakan aturan-aturan yang efektif.
Misalnya saja, seorang menteri ataupun pegawai berpengalaman yang memiliki pengetahuan relevan dalam bidang tertentu akan lebih mengerti permasalahan serta cara-cara untuk menyelesaikannya. Di samping itu, model seperti ini juga dapat mendongkrak keyakinan orang banyak. Publik cenderung lebih percaya terhadap lembaga yang dipimpin oleh pribadi-pribadi ahli di bidang mereka.
Pada akhirnya, pemerintah seharusnya memanfaatkan dan menempatkan “orang pintar” tersebut pada posisi yang tepat untuk mendorong pembangunan. Bukan justru sebaliknya, “merendahkan” dan menyingkirkan mereka dalam tatanan pemerintahan.
Jika pemerintah ingin mendorong berbagai lompatan kemajuan, langkah pertama adalah dengan menerapkan prinsip meritokrasi. Dan hal itu bisa dimulai oleh pimpinan tertinggi!