Israel di Balik Api: Kisah Pinus yang Membakar Sejarah dan Menghadirkan Bencana

Israel di Balik Api: Kisah Pinus yang Membakar Sejarah dan Menghadirkan Bencana

Di akhir April sampai awal Mei 2025, Israel dihadapkan pada serangan panas yang luar biasa kuat. Temperatur naik drastis, kelembapan meningkat signifikan, serta tiupan angin kencang berlangsung terus-menerus. Dalam situasi tersebut,
api mulai berkobar
Di pegunungan bagian barat Yerusalem, berdekatan dengan Hutan Eshtaol, serta sepanjang jalur raya yang terhubung antara Yerusalem dan Tel Aviv.

Api meluas dengan cepat luar biasa, menghanguskan puluhan ribu hektar hutan. Warna langit di Yerusalem pun berubah menjadi abu-abu akibat asap pekat tersebut.

Israel dengan cepat akan mengumumkan situasi darurat nasional. Ratusan orang dari puluhan kota dan desa telah dipindahkan. Kebakaran skala besar ini bahkan oleh beberapa petugas dan jurnalis disebut-sebut sebagai “terparah dalam riwayat negara tersebut.”

Israel dipaksa mengajukan bantuan internasional. Beragam peralatan pemadam kebakaran yang datang dari beberapa negara dikirm untuk mengekang sihirapi tersebut.

Klaim tentang bencana kebakaran yang disebut sebagai “yang terbesar dalam sejarah” itu pun cepat di bayang-bayangi oleh kenangan tragis dari masa lalu. Warga spontan mengingat peristiwa tersebut.
Kebakaran besar terjadi di Gunung Carmel
pada bulan Desember 2010.

Dalam jangka waktu empat hari, kebakaran menghanguskan kira-kira 50 kilometer persegi (12.000 hektare) dari lahan hutan, dengan mayoritasnya merupakan area tanaman hutan pinus Aleppo. Musibah di pegunungan Karmel ini menewaskan 44 orang dan menjadi peristiwa sipil terparah dalam catatan sejarah Israel pada masa tersebut.

Apa penyebabnya? Sebuah kelalahan oleh seorang pemuda yang gagal memadamkan bara api nargilanya dengan tepat. Di samping itu, kebakaran besar pada tahun 2016 pun telah menghanguskan lahan seluas 130.000 dunam (atau setara dengan 32.000 hektar), yang mana ini jauh melampaui luasan dampak kebakaran Karmel dan terjadi di beberapa daerah.

Kebakaran skala besar yang terjadi pada tahun 2025 sering kali disamakan dengan bencana-bencana sebelumnya, menggambarkan suatu kesamaan dalam polanya. Setiap kiamat besar tampaknya dijadikan patokan untuk musibah-musibah mendatang, menjadikannya sebagai standar baru atas kehancanan tersebut.

Apakah kebakaran besar ini hanya karena kondisi cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim? Atau kesalahan manusia serta kemungkinan pembakaran dengan motif jahat yang kerap terjadi dalam situasi perselisihan? Bisa juga ada masalah mendasar lainnya, tersamar di belakang pola lahan dan ragam tanaman yang sudah menguasai area tersebut selama lebih dari seabad?


Impian Hutan Eropa di tanah Palestina

Narasi yang kerap disuarakan oleh pendiri-pendiri Zionis pada masa pergeseran antara abad ke-19 menuju 20 adalah konsep suatu negeri yang “tersia-sia” dan “hampa”. Mereka mendeskripsikan Palestina sebagai daerah tandus, bergunung batu, sebidang lahan kosong, hampir tidak ada vegetasinya, dengan panorama “mengerikan dan gelap” karena terpinggirnya pembangunan selama bertahun-tahun di bawah
kekaisaran Utsmaniyah
.

Berbeda dengan pandangan tersebut adalah ideologi pendiripendirian gerakan Zionis: suatu negeri yang asri, makmur, serta berkelanjutan untuk kaum Yahudi yang telah pulang ke tanah air mereka.

Agar tujuan tersebut tercapai, suatu organisasi penting dibentuk saat Kongres Zionis kelima di Basel, Switzerland, pada tahun 1901: Keren Kayemeth LeYisrael (KKL), yang selanjutnya dikenali dalam Bahasa Inggeris sebagai Jewish National Fund (JNF).

Tujuan utama JNF, seperti yang ditetapkan sejak awal dan dikukuhkan dalam anggaran dasarnya, adalah menghimpun sumbangan dari masyarakat Yahudi di seluruh dunia guna memperoleh lahan di Palestina (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Utsmaniyah, setelahnya
Mandat Britania
).

Lahan tersebut ditujukan untuk menjadi “hak milik sejati umat Yahudi,” tidak boleh dipindahtangankan, tetapi harus disewakan hanya kepada organisasi dan proyek-proyek yang berkaitan dengan perkembangan Yahudi.

Pembelian tanah pertama dilakukan
pada tahun 1903 di kota Hadera
(hadiah sebesar 50 hektar tanah dari Isaac Leib Goldberg), disusul dengan pembelian properti yang ada di dekat Danau Galilea dan kawasan Ben Shemen pada periode-periode mendatang.

Sejak awal, pekerjaan JNF tidak hanya fokus pada pembelian lahan. Reforestasi atau menanam kembali hutan pun segera menjadi bagian penting dari tujuannya. Proyek pertama mereka adalah menanam kebun zaitun di Hulda sebagai bentuk penghormatan.
Theodor Herzl
Pada tahun 1905 dan dengan pendirian “Dana Pohon Zaitun”, JNF langsung mengembangkan program penanaman pohonnya menjadi lebih luas lagi.

Di tahun 1935, JNF sudah menanami sekitar 1,7 juta pohon pada area seluas 1.750 hektare. Upaya penghijauan ini memiliki tujuan ganda. Dalam prakteknya, hal tersebut merupakan komponen dari usaha pemulihan lahan—seperti keringkan rawa-rawa di Lembah Hula agar menjadi tanah pertanian, kelola sumber daya udara, serta buat lingkungan dengan tampilan yang dipersepsikan sebagai “berdaya guna”.

Akan tetapi, tidak kalah penting juga adalah aspek simbolis dan politisnya. Menanam pohon menjadi metode untuk memperkuat klaim kedaulatan serta ketidakhadiran Yahudi di wilayah itu, merombak panorama secara fisik sebagai bukti “penyatuan” kembali tanah tersebut.

Tersembunyi dibalik usaha penanaman pohon-pohon ini terdapat satu harapan, yaitu “impian Eropa.” Imigran pendukung zionisme awal, mayoritas berasal dari Eropa, mengejar panorama yang dikenali dan dirindukan, mirip dengan hutan-hutan di tanah air mereka.

Hasrat untuk menjadikan padang pasir bermekaran tak hanya berkaitan dengan aspek lingkungan, tetapi juga tentang merancang perasaan “kediaman” serta memvisualisasikan perubahan sekitar yang tadinya terasa asing menjadi lebih familiar.

Jenis-jenis pohon yang akan datang, khususnya dominansi dari pohon pinus Eropa, sepertinya juga dipandu oleh hasrat untuk mensimulasikan tampilan lanskap Eropa tersebut. Sementara itu, hal ini pada gilirannya secara tidak langsung berpotensi mendiskreditkan atau menjauhkan tanaman lokal Palestina yang mungkin dianggap kurang indah atau kurang moderen.

Oleh karena itu, keterkaitan simbiosis antara pengambilalihan lahan dan penataan hutan dalam pendekatan JNF menjadi sangat jelas. Kedua praktik ini tidak terlepas satu sama lain, tetapi malahan saling mendukung.

Penanaman bertindak sebagai dasar hukum dan pengukuhan terhadap lahan pertanian yang telah dibeli, mencerminkan perubahan fisik area itu di bawah otoritas baru, menghasilkan peluang pekerjaan serta sumber daya bagi pemukiman penduduk baru. Selain itu, seperti yang akan kita bahas nanti, penanaman juga digunakan sebagai metode untuk menyembunyikan catatan historis yang kurang disukai mulai tahun 1948.

Narasinya tentang “penghijauan” dan “kesadaran lingkungan” yang dikembangkan oleh JNF kerap kali
menyamarkan fungsi politis
aforestasi berperan sebagai alat krusial dalam misi kolonisasi dan pendirian negara.

Penanaman Pinus Secara Massal

Dalam program penanaman kembali hutan berskala besar yang dikelola oleh JNF, satu jenis pohon telah menguasai pemandangan Israel selama beberapa dasawarsa, yakni Pinus Aleppo, atau biasanya disebut sebagai Pinus Yerusalem dalam bahasa setempat.

Pinus halepensis

).

Spesies ini dipilih sebagai unggul utama lantaran beberapa kelebihan: ia tumbuh dengan cukup pesat, dapat bertahan pada iklim kering—walaupun asumsi tersebut butuh penilaian lanjutan terkait budidaya berskala luas—dan dianggap sesuai untuk ditebar secara masif di tanah-tanah kurang subur atau berbatu yang tak ideal bagi pertanian tradisional.

JNF telah menanami jutaan pohon pinus itu, merombak dengan cepat area bukit-bukit yang tandus menjadi luasannya hutan konifer. Sampai sekarang,

Pinus halepensis

Masih merupakan jenis pohon terbanyak di hutan-hutan yang dikelola oleh KKL-JNF.

Peranan hutan jati milik JNF kian penting dan menuai pro kontra sejak
Peristiwa Nakba
(kesengsaraan) terjadi pada tahun 1948, mengacu pada pemasungan paksa dari puluhan ribu penduduk Palestina dari tempat tinggal dan lahan mereka saat Perang Israel-Arab pertama.

Mulai saat itu, penanaman pohon, khususnya jenis pinus yang pertumbuhannya pesat, dipakai secara berkelanjutan sebagai metode untuk menyembunyikan lebih dari 500 desa Palestina yang hancur dan ditinggalkan.

Kedua fungsi dari hutan-hutan ini adalah untuk melindungi secara fisik bukti-bukti tentang adanya desa-desas tersebut dan juga mencegah atau mempersulit penduduk Palestina yang terlantar dalam mereturn ke tanah air nenek moyang mereka.

Internasional Jewish Anti-Zionist Network
(IJAN) menggambarkan beberapa kasus nyata dari praktik tersebut dengan menyebutkan “Taman British,” yang mendapatkan pendanaannya dari sayap JNF Inggris pada dekade 1950 dan dibuat di Desa Ajjur dan Zakariyya. Sebuah contoh lainnya adalah “Taman Canada,” mayoritas area taman berlokasi di Wilayah Tepi Barat yang telah diduduki (tempat sebelumnya merupakan desa Imwas, Yalo, dan Beit Nuba). Meskipun demikian, JNF Kanada mempromosikan lokasinya sebagai sebuah taman nasional di Israel.

Kawasan hutan itu seperti tirai berwarna hijau yang menutupi cerita buruk tentang pengungsi dan pemasungan.

Praktik tersebut menciptakan perbedaan antara hutan pinus yang ditanam secara masif dan pohon zaitun, yaitu tanaman asli yang sudah lama dikembangkan di Palestina selama beribu-ribu tahun.

Pohon zaitun tidak hanya merupakan tumbuhan biasa; ini menjadi lambang penting bagi jati diri, ketahanan, peninggalan budaya, serta kekekalan Bangsa Palestina bersama tanah mereka. Ada dugaan bahwa selama upaya “pemulihan hijau” oleh JNF dan perluasan pemukiman, banyak pohon zaitun tua kepunyaan masyarakat Palestina telah rusak atau dihapus.
diambil, dihancurkan, atau diganti dengan pohon cemara
dan spesies lainnya.

Perbedaan antara kedua jenis pohon ini bukan hanya pada sisi simbolik, tapi juga memiliki dampak ekologis. Meski Pinus Aleppo sering diklaim berasal dari daerah tersebut, habitat alami mereka cukup terbatas di Israel kontemporer; kini dominasi mereka berkat program tanammassal yang luas.

Sebaliknya, pohon zaitun merupakan komponen penting dalam ekosistem Mediterania alami.
Dia terkenal lebih tahan terhadap api
.

Pinus Aleppo sangat rentan terhadap api dikarenakan kadar resin yang tinggi serta penumpukan daun pinus kering di tanah hutan. Tambahan lagi, spesies pohon ini dilengkapi dengan mekanisme serotinin; kerucutnya akan tetap tertutup sampai panas intensif dari peristiwa kebakaran mengaktivasinya sehingga dapat membuka dan menyebarkan biji-bijian-nya.

Saat api berkobar, bisa meluas dengan pesat dan lebarnya karena minim penghalang. Di samping ancaman kebakaran, hutan yang homogen ini pun lebih mudah diserang oleh hama serta penyakit.

Jurnal

CABI Digital Library

menyebutkan wabah
kutu sisik pinus Israel
(

Matsucoccus josephi

Pernah ada serangan parah terhadap hutan Pohon Alep berumur sekitar 40 tahun pada awal 1970-an. Serangan tersebut mengakibatkan banyaknya pohon mati dan mendorong KKL-JNF untuk berganti menanam jenis pinus lain yang dipandang lebih tahan lama, contohnya adalah Pinus dari Turkey.

Pinus brutia

) sebagai penggantinya.

Hutan monokultur pada dasarnya memiliki tingkat keragaman biologis yang rendah akibat ketidaktersediaan berbagai jenis Habitat dan sumber makanan untuk spesies lain.

Akibatnya, penanaman pohon oleh JNF, terutama jenis pinus, menerapkan metode pemotongan berulang. Fisiknya, hal ini menutup sejarah Palestina. Dari sudut pandang ekologi, area tanam tradisional seperti kebun zaitun yang memiliki nilai budaya dipenuhi dengan hutan monokultur buatan yang tidak alami. Hal ini mencerminkan selera seni dan kebutuhan fungsional dari penduduk baru tersebut.

Penyelesaian sementara untuk mengubah lahan menjadi hijau ternyata malah menjadi sebagian dari persoalan yang lebih besar di masa depan.


Menuai Badai Api

Baru-baru ini, hubungan antara masa lalu dan masa kini tampak semakin terlihat dengan jernih. Keputusan yang dibuat oleh JNF/KKL lebih dari satu abad silam dipengaruhi oleh berbagai alasan seperti motif politik (memperoleh dan mengontrol lahan), ideologi (Zionisme, “penyatuan” wilayah), serta aspek seni dan keindahan (“impian Eropa”, pemandangan hijau). Semua hal tersebut telah membentuk tampilan fisik negara Israel pada zaman modern hari ini secara langsung.

Menariknya, pemilihan pohon berisi makna ideologis di Israel tak hanya mencakup pinus.
Penanaman pohon Gharqad
(

Nitraria retusa

atau

Lycium shawii

), yang disebutkan dalam beberapa hadis Islam sebagai satu-satunya pohon yang akan memberikan perlindungan kepada orang Yahudi di pertempuran akhir zaman, juga dituduh telah dilakukan oleh individu maupun organisasi semacam JNF, walaupun dengan skala yang jauh lebih terbatas.

Itu mengindikasikan bahwa faktor-faktor seperti pertimbangan politik, ideologis, hingga eskatologis mempengaruhi pilihan jenis tumbuhan di area itu, melebihi dari sekadar aspek ekologi semata.

Di penghujung hari, ketidaktegasan wilayah Israel menghadapi api hebat tak hanya merupakan fenomena lingkungan yang diperparah oleh pemanasan global. Ini sebenarnya adalah suatu bentuk ketidakamanan yang telah dibangun dari masa lalu.

Bangunan tersebut dikonstruksi secara bertahap sepanjang lebih dari satu abad dengan mempertimbangkan keputusan khusus mengenai penataan lahan dan jenis-jenis pohon yang akan dipilih. Sumber daya bakar berlimpah untuk api saat ini merupakan hasil langsung dari pertimbangan politik, ideologi, serta aspek seni pada zaman dahulu.

Perubahan iklim serta faktor pembakaran ilegal hanya menyalakan pemicunya saja, sedangkan strukturnya telah melekat di area tersebut secara inheren. Hal ini mengubah perspektif tentang permasalahan kebakaran hutan bukan semata-mata sebagai isu lingkungan atau cuaca, tetapi juga mencerminkan persoalan mendalam terkait dengan sejarah dan ekologis politik lokal.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart